Sukses

Terpidana Hukuman Kebiri Kimia Ajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung

Terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak berencana ajukan upaya hukum lain sehingga dapat membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto ke Mahkamah Agung (MA).

Liputan6.com, Surabaya - Terpidana pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Muhammad Aris, melalui kuasa hukumnya, Handoyo berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) agar dapat membatalkan putusan hukuman tambahan kebiri kimia.

Handoyo menyatakan, kliennya memang berencana mengajukan upaya hukum lain, agar dapat membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur.

Upaya hukum yang dimaksud adalah Peninjauan Kembali (PK), lantaran kasus itu sudah inkrah di tingkat pengadilan tinggi.

"Upaya hukum yang bisa dilakukan memang mengajukan PK. Karena di tingkat banding sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah)," ujar dia, Selasa (27/8/2019).

Handoyo mengatakan, peraturan pemerintah yang mengatur soal pelaksanaan teknis kebiri kimia itu masih belum ada sehingga, hukuman tambahan tersebut harusnya tidak dapat dilaksanakan.

Ia menambahkan, hukum tidak berlaku surut. Jika belum ada aturan yang mengaturnya, maka hukuman tersebut belum dapat diterapkan.

"Peraturan pemerintahnya (soal pelaksanaan hukuman kebiri kimia) belum ada. Bagaimana bisa melaksanakan. Sedangkan hukum tidak berlaku surut. Untuk itu lah kita ajukan PK," tambahnya.

Dengan diajukannya PK ini, pihaknya berharap hukuman tambahan kebiri kimia yang dibebankan kepada kliennya dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). "Kita berharap demikian (dibatalkan). Hari ini atau paling lambat besok, berkas PK akan kita ajukan," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kata Pengamat Hukum soal Penerapan Hukuman Kebiri Kimia

Dikonfirmasi secara terpisah, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Narotama, Surabaya, Yusron Marzuki angkat bicara mengenai pelaksanaan kebiri kimia untuk terpidana pemerkosaan di Mojokerto. 

Dia menuturkan, eksekusi pengebirian terpidana yang sudah ditetapkan dalam amar putusan hakim, wajib dilaksanakan oleh eksekutor.

"Eksekutornya adalah jaksa, namun karena jaksa tidak memiliki pengetahuan medis, maka bisa minta bantuan dokter. Bagi Kejaksaan, putusan ini sudah menjadi norma dan sudah mengikat. Maka sebagai eksekutor, jaksa punya kewajiban untuk melaksanakan," tegasnya, Senin, 26 Agustus 2019.

Terkait dengan pelaksanaan teknis pengebirian itu sendiri, Yusron menyatakan telah diatur dalam Perpu nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (diubah UU nomor 35 tahun 2014).

Ia menuturkan, Perpu itu, tepatnya pasal 81A, mengatur tentang kapan waktu pelaksanaan kebiri kimia harus dilakukan. Pasal 81A menyebut "Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok."

"Jadi, pelaksanaan hukuman tambahan kebiri ini, baru dapat dilaksanakan, kalau si terpidana selesai menjalani pidana pokoknya. Setelah itu, baru dilaksanakan hukuman tambahan, yakni kebiri kimia, dengan ancaman maksimal 2 tahun," ungkapnya.

Saat disinggung, jika dokter yang diminta jaksa menolak karena bertentangan dengan prinsip maupun keilmuan kedokteran, Yusron menjawab, pada prinsipnya tidak ada seorang warga negara pun yang dapat menolak undang-undang atau aturan negara. 

Sebab, jika aturan dalam undang-undang telah 'memerintahkan', maka semua orang dianggap tahu dan wajib melaksanakan perintah undang-undang tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan, jika dokter tidak setuju dan berencana 'melawan' perintah undang-undang tersebut, dapat menyalurkannya sesuai dengan jalur konstitusi.

"Dokter harus tunduk dan patuh terhadap hukum negara. Kalau dokter tidak setuju atau menolak hukuman kebiri, jalannya bisa melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi prinsipnya, semua pihak wajib melaksanakan aturan undang-undang, tidak bisa menolak," tambahnya.

Jadi, jaksa dianggapnya masih memiliki waktu yang cukup panjang, sembari mempersiapkan perangkat teknis eksekusi. "Yang saya tahu dari media, terpidana kan divonis 12 tahun penjara ya. Jadi, setelah masa pidana pokok selesai, baru jaksa melaksanakan hukuman tambahannya. Aturannya demikian, masih ada waktu panjang untuk mempersiapkan," tegasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.