Sukses

Jasa Transportasi Penyeberangan Terancam Bangkrut?

Sekitar 3-4 perusahaan ferry terancam bangkrut karena beberapa faktor antara lain karena iklim usaha tak kondusif, terlalu banyak regulasi dan beban pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Liputan6.com, Surabaya - Mantan Direktur Utama PT Dharma Lautan Utama, perusahaan penyeberangan Bambang Haryo Soekartono memaparkan penyebab bisnis jasa transportasi penyeberangan (ferry) mengalami masa suram.

Sekitar 3-4 perusahaan ferry terancam bangkrut karena beberapa faktor antara lain karena iklim usaha tak kondusif, terlalu banyak regulasi dan beban pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

"Ada kebijakan menteri perhubungan untuk menggenjot PNBP. Akibatnya banyak item pungutan PNBP bermunculan di pelabuhan. PNBP kementerian perhubungan naik pesat, tapi pengeluaran biaya-biaya pelabuhan kami menjadi meningkat," cetus pemilik operator pelayaran ferry, PT Dharma Lautan Utama, Rabu, 2 Oktober 2019.

Regulasi lain adalah kewajiban penggunaan kapal berkapasitas besar di Merak-Bakauheni. “Kapal besar ini butuh kru lebih banyak, BBM dan biaya perawatannya juga lebih besar, biaya-biaya pelabuhannya juga lebih mahal. Pada sisi lain, penumpang hanya ramai saat peak hours atau waktu-waktu sibuk saja. Bahkan disparitasnya cukup tinggi,” ujar dia.

Bambang Haryo membandingkan penggunaan armada terbilang fleksibel di transportasi udara. “Kalau transportasi udara, dapat menggunakan narrow body bila penumpang jauh dari load factor. Atau penggabungan dua jadwal keberangkatan. Nah kalau di transportasi penyeberangan kan nggak bisa seperti itu," tutur dia.

Dia menuturkan, jumlah dermaga minim di sejumlah daerah, termasuk Merak-Bakauheni, sehingga hanya dapat menampung sekitar 30 persen jumlah kapal.

Kondisi ini merugikan perusahaan pelayaran, karena harus tetap menanggung biaya tetap (fixed cost) kapal yang cukup besar sekitar 60 persen dari total biaya sehingga seharusnya pemerintah berkewajiban untuk menyediakan dermaga yang cukup agar semua kapal bisa dioperasikan.

Tentunya ini dapat bermanfaat sebagai tambahan daya angkut atau kapasitas angkut terpasang dan tentu akan lebih bisa memberikan suatu layanan transportasi terbaik untuk masyarakat.

Dia mengingatkan, jasa transportasi penyeberangan itu selain berfungsi sebagai alat angkut, juga berfungsi sebagai jembatan.

"Fungsinya sebagai infrastruktur. Kalau infrastruktur berarti ada kewajiban pemerintah untuk membiayainya dengan cara ada insentif-insentif yang diberikan untuk angkutan penyeberangan, jadi bukan malah diberikan biaya-biaya yang lebih dari angkutan darat. Contohnya, jalan raya, biaya perawatannya ditanggung pemerintah," cetusnya.

Jumlah penumpang, dia mengutarakan mengalami stagnan. "Banyak kapal mengangkut penumpang jauh di bawah load factor keekonomian. Namun, karena terikat dengan jadwal maka kapal harus tetap berlayar. Kalau tidak berlayar, tetap saja terkena biaya pelabuhan," kata dia.

 

 

*** Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tarif Rendah

Penyebab lain dari bisnis angkutan penyeberangan, Bambang Haryo mengemukakan, pemerintah menetapkan tarif rendah di kisaran Rp 700/mil/penumpang.

"Tarifnya hanya Rp 700/mil/penumpang. Padahal tarif keekonomiannya pada rentang Rp 1.500-2.000/mil/penumpang," tutur dia.

Dia mengungkapkan, Filipina dan Thailand memberlakukan tarif jasa angkutan penyeberangan Rp 3.500-Rp 4.500/mil/penumpang. Angka ini di atas Indonesia sekitar Rp 700/mil/penumpang sehingga dinilai sulit menutup biaya.

"Nah kita hanya Rp700/mil/penumpang. Berat sekali, sehingga jumlah pendapatan perusahaan pelayaran sulit untuk menutup biaya kenyamanan dan keselamatan yang ada," ujar dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.