Sukses

Dosen ITS Gagas Material untuk Energi dan Lingkungan

Proses konversi energi dari pemanfaatan bahan bakar fosil menimbulkan dampak yang masif bagi lingkungan, salah satunya adalah pemanasan global.

Liputan6.com, Surabaya - Proses konversi energi dari pemanfaatan bahan bakar fosil menimbulkan dampak yang masif bagi lingkungan, salah satunya adalah pemanasan global.

Berangkat dari hal tersebut, dosen Departemen Kimia Fakultas Sains Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Hamzah Fansuri menjawab penyelesaiannya pada orasi ilmiah yang akan disampaikan pada pengukuhannya sebagai guru besar, Senin, 18 November 2019.

Orasi ilmiah bertajuk Material untuk Energi dan Lingkungan: Membran Berbasis Oksida Perovskit dan Geopolimer tersebut memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan Wakil Dekan Fakultas Sains ITS tersebut.

Bidang penelitian yang telah Hamzah tekuni sedari menempuh pendidikan doktor ini mengacu pada penggunaan membran katalis berbasis Oksida Perovskit untuk mengubah metana menjadi bahan bakar minyak berupa metanol. Gas metana sendiri merupakan komponen utama dari sumber energi fosil yaitu gas alam.

Lebih lanjut, Hamzah menuturkan, gas metana yang mudah terbakar di udara akan menghasilkan gas karbon dioksida (CO2). Gas metana dan karbon dioksida ini memberikan efek rumah kaca dan berujung pada pemanasan global. "Untuk itu, konversi metana menjadi bahan bakar minyak dilakukan sebagai tindakan solutif dari permasalahan tersebut," terang lelaki berkacamata ini, Sabtu, 16 November 2019. 

Hamzah menuturkan, efek rumah kaca yang ditimbulkan dari gas metana dampaknya 21 kali lebih kuat daripada karbon dioksida. Sehingga, dalam hal ini, gas metana tersebut lebih baik dibakar secara langsung untuk menjadi karbon dioksida daripada dilepaskan secara langsung ke udara. 

Hamzah mengatakan, peran membran katalis berbasis Oksida Perovskit dimulai dalam proses tersebut. "Membran katalis ini akan menangkap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi senyawa organik,” ujar suami dari Nurul Widiastuti PhD yang juga dosen Departemen Kimia ITS ini.

Menilik lebih lanjut mengenai proses konversinya, imbuh Hamzah, pengubahan metana menjadi metanol secara tidak langsung dapat dilakukan dengan mengubah metana terlebih dahulu menjadi Syngas (campuran CO dan H2). "Lalu, Syngas ini diubah menjadi metanol dengan katalis tertentu," tutur alumnus Curtin University of Technology ini.

Selain mencakup informasi di atas, batu bara yang juga merupakan salah satu sumber energi fosil tak luput dari bahasan orasi ilmiah tersebut. Batu bara sendiri berpotensi menghasilkan pencemaran yang tinggi dengan menghasilkan limbah berupa fly ash (abu layang). Untuk itu, pendiri Konsorsium Riset Geopolimer Indonesia (KORIGI) tersebut mengonversi abu layang menjadi geopolimer.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Selanjutnya

Pengubahan abu layang menjadi geopolimer menghasilkan produk bernilai tambah relatif rendah, tapi mampu menyerap abu layang dalam jumlah yang sangat besar.

Dari geopolimer ini dapat dihasilkan produk untuk kebutuhan bahan bangunan. "Produk terapan dari geopolimer ini salah satunya adalah paving yang dalam pembuatannya bekerja sama dengan dosen dari Departemen Teknik Sipil," ujar bapak dua anak tersebut.

Penggunaan abu layang sebagai bahan baku paving ini digunakan sebagai pengganti semen yang dalam produksinya banyak melepaskan karbon dioksida yang berdampak pada pemanasan global. 

Utamanya, lelaki kelahiran Tasikmalaya, 17 Oktober 1969 ini berharap penelitiannya dapat berguna bagi pemenuhan kebutuhan energi dan mengatasi masalah lingkungan yang timbul berkenaan dengan proses produksi bahan bakar. Selain itu, Hamzah juga mengharapkan mahasiswa untuk ikut mempersiapkan penelitian.

"Dengan adanya penelitian sebagai terapan dari teori, kita dapat bersaing dan menghilangkan ketergantungan terhadap negara lain," tegas Hamzah.

Disinggung soal capaiannya menjadi guru besar baru di ITS, Hamzah mengungkapkan prosesnya memakan waktu dua tahun lamanya dengan diliputi berbagai kendala yang dihadapi. Ia berharap capaiannya ini dapat menularkan semangat pada dosen-dosen di ITS agar dapat lebih produktif dalam penelitian sebagai acuan kenaikan pangkat. 

"Sehingga iklim penelitian dalam atmosfer akademik akan terus lahir di ITS untuk mengatasi masalah yang ada di masyarakat," pungkasnya penuh harap.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.