Sukses

MUI Jatim Klarifikasi soal Larangan Ucapan Selamat Natal

Sekretaris MUI Jatim, Mochammad Yunus menuturkan, MUI Jatim tidak pernah mengeluarkan larangan ucapan selamat Natal. Hal itu menurut Yunus, kembali kepada pribadi masing-masing.

Liputan6.com, Jakarta - Ramai isu larangan ucapan selamat Natal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur mengklarifikasi mengenai larangan ucapan selamat natal tersebut.

Sekretaris MUI Jatim, Mochammad Yunus menuturkan, MUI Jatim tidak pernah mengeluarkan larangan ucapan selamat Natal. Hal itu menurut Yunus, kembali kepada pribadi masing-masing.

"MUI Jatim secara resmi tidak pernah keluarkan larangan itu (ucapan selamat Natal-red),” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin (23/12/2019).

Ia menuturkan, MUI baru keluarkan fatwa larangan memakai atribut non-Muslim. Fatwa tersebut dikeluarkan pada Desember 2016. 

Yunus mengatakan, kalau soal larangan ucapan selamat Natal, MUI belum keluarkan mengenai fatwa tersebut. “MUI tidak keluarkan fatwa tentang itu,” ujar dia.

Sebelumnya dikabarkan MUI Jawa Timur meminta umat Muslim tidak mengucapkan selamat Natal kepada umat kristiani. Akan tetapi, ucapan tersebut tidak berlaku untuk Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

MUI Jatim Imbau Pejabat Tak Ucapkan Salam Agama Lain Ketika Buka Pidato

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan surat edaran berisi imbauan agar para pejabat dan siapapun tidak mengucapkan salam atau kalimat pembuka dari semua agama saat acara resmi.

Hal ini karena kalimat dan salam dari agama dianggap berkaitan dengan masalah keyakinan atau akidah agama tertentu. Imbauan itu dikeluarkan dalam surat edaran yang ditandatangani oleh Ketua MUI Jatim KH.Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin.

Pada surat itu, MUI Jatim mengeluarkan delapan poin tausiah atau rekomendasi yang merujuk pada hasil rapat kerja nasional (rakernas) MUI 2019 di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Oktober 2019.

Ketua MUI Jatim KH.Abdusshomad Buchori membenarkan surat itu memang resmi dikeluarkan oleh pihaknya.

“Ini (hasil) pertemuan MUI di NTB ada rakernas rekomendasinya, itu tidak boleh salam sederat itu semua agama yang dibackan oleh pejabat,” ujar Abdusshomad, saat dihubungi Merdeka.com, Senin, 11 November 2019.

Ia menuturkan, dalam Islam, salam merupakan doa, sehingga hal itu tidak terpisahkan dari ibadah. Selain itu, salam pembuka dalam agama Islam dianggapnya bukan bagian dari sekadar basa-basi.

“Salam, Assalamualaikum itu doa, salam itu termasuk doa dan doa itu ibadah.Sehingga kalau saya menyebut Assalamulaikum itu doa semoga Allah SWT memberi keselamatan kepada kamu sekalian dan itu salam umat Islam,” ujar dia.

Ia menambahkan, berarti kurang lebih sama soal penyebutan salam dari agama yang lain, tentu memiliki arti tersendiri dan merupakan doa kepada Tuhannya masing-masing.

Ia kembali menegaskan, jika si pengucap salam ini beragama Islam maka dimintanya untuk mengucapkan Assalaamu’alaikum.  Begitu juga jika si pengucap salam ini beragama lain, ucapkanlah salam dengan cara agama lain  pula.

“Misalnya pejabat, seorang gubernur, seorang presiden, wakil presiden, para menteri, kalau dia agamanya Muslim ya Asslamualaikum. Tapi mungkin kalau Gubernur Bali ya dia pakai salam Hindu,” tutur dia.

Bagaimana dengan persoalan toleransi?

Abdusshomad juga tak setuju jika pengucapan salam seluruh agama sekaligus itu disebut sebagai bentuk toleransi dan upaya menghargai perbedaan. Ia menuturkan, salam tak semestinya dicampuradukkan, jika dilakukan hal itu justru merusak ajaran agama tertentu.

"Enggak. Prinsipnya kita setuju soal perbedaan, saling menghormati, maupun menghargai. Tapi bukan berarti, menyebutkan salam semua, itu malah merusak ajaran agama tertentu,” ujar dia.

 

Reporter: Erwin Yohannes

Sumber: Merdeka.com

3 dari 3 halaman

Isi Edaran

Ini delapan poin imbauan MUI Jatim terkait pengucapan salam semua agama, dalam keterangan resminya:

1. Bahwa agama adalah sistem keyakinan yang didalamnya mengandung ajaran yang berkaitan dengan masalah akidah dan sistem peribadatan yang bersifat eksklusif bagi pemeluknya, sehingga meniscayakan adanya perbedaan-perbedaan antara agama satu dengan agama yang lain.

2. Dalam kehidupan bersama di suatu masyarakat majemuk, lebih-lebih Indonesia yang mempunyai semboyan Bhinneka tunggal ika, adanya perbedaan-perbedaan menuntut adanya toleransi dalam menyikapi perbedaan.

3. Dalam mengimplementasikan toleransi antar umat beragama, perlu ada kriteria dan batasannya agar tidak merusak kemurnian ajaran agama. Prinsip tolerasi pada dasarnya bukan menggabungkan, menyeragamkan atau menyamakan yang berbeda, tetapi toleransi adalah kesiapan menerima adanya perbedaan dengan cara bersedia untuk hidup bersama di masyarakat dengan prinsip menghormati masing-masing pihak yang berbeda.

4. Islam pada dasarnya sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi, yang antara lain diwujudkan dalam ajaran tidak ada paksaan dalam agama (QS. al-Baqarah [2]: 256); prinsip tidak mencampur aduk ajaran agama dalam konsep Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku sendiri. (QS. al-Kafirun [109]: 6), prinsip kebolehan berinteraksi dan berbuat baik dalam lingkup muamalah (QS. al-Mumtahanah [60]: 8), dan prinsip berlaku adil kepada siapapun (QS. al-Maidah [8]: 8).

5. Jika dicermati, salam adalah ungkapan doa yang merujuk pada keyakinan dari agama tertentu. Sebagai contoh, salam umat Islam, Assalaamualaikum yang artinya semoga Allah mencurahkan keselamatan kepada kalian. Ungkapan ini adalah doa yang ditujukan kepada Allah Swt, Tuhan yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia.

Salam umat Budha, Namo buddaya, artinya terpujilah Sang Budha satu ungkapan yang tidak terpisahkan dengan keyakinan umat Budha tentang Sidarta Gautama. Ungkapan pembuka dari agama Hindu, Om swasti astu. Om, adalah panggilan umat Hindu khususnya di Bali kepada Tuhan yang mereka yakini yaitu Sang Yang Widhi. Om, seruan ini untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan yang tidak lain dalam keyakinan Hindu adalah Sang Yang Widhi tersebut. Lalu kata swasti, dari kata su yang artinya baik, dan asti artinya bahagia. Sedangkan Astu artinya semoga. Dengan demikian ungkapan Om swasti astu kurang lebih artinya, Semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan.

6. Bahwa doa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah. Bahkan di dalam Islam doa adalah inti dari ibadah. Pengucapan salam pembuka menurut Islam bukan sekedar basa basi tetapi doa.

7. Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bidah yang tidak pernah ada di masa yang lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari.

8. Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, Assalaamualaikum. Wr. Wb. Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.