Sukses

Kata Dosen Unair soal Motif AS Keluarkan Indonesia dari Negara Berkembang

Dosen Ekonomi Politik Internasional Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair), Citra Hennida menuturkan, AS kini lebih memperhatikan kepentingan dalam negeri.

Liputan6.com, Surabaya - Amerika Serikat (AS) membuat pernyataan mengejutkan dengan merevisi pedoman perdagangan Amerika Serikattahun 1998 dan mengeluarkan sebanyak 25 negara dari daftar negara berkembang pada Sabtu, 22 Februari 2020.

Salah satu yang turut dinaikkan statusnya menjadi negara maju adalah Indonesia. Dosen Ekonomi Politik Internasional Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Citra Hennida menuturkan, langkah Amerika Serikattersebut merupakan hal yang terprediksi. Mengingat, kini AS cenderung menerapkan politik isolasionis dan lebih memperhatikan kepentingan dalam negeri. 

"Alasan utama Amerika Serikat melakukan hal itu karena 25 negara tersebut selama ini menjadi penyebab defisitnya neraca perdagangan lintas negara AS,” ujar dia, Rabu (26/2/2020). 

Data BPS Januari 2020, neraca perdagangan Indonesia dengan AS terhitung surplus USD 1,08 miliar. Surplus perdagangan terjadi ketika nilai ekspor Indonesia ke AS lebih tinggi daripada nilai impor produk AS di Indonesia. 

Tingginya angka surplus tersebut menjadi alasan Amerika Serikat selama bertahun-tahun mengkritik Special Differential Treatment (SDT) di World Trade Organization (WTO) yang dianggap terlalu menguntungkan negara-negara berkembang. 

"Dalam WTO sendiri, negara berkembang memang mendapat keringanan dalam hal tarif, bea, bunga hutang, maupun subsidi produksi untuk menjaga daya saing dengan negara maju,” kata Citra.

Pada dasarnya, definisi negara maju maupun berkembang tidak secara jelas diuraikan dalam WTO. Status negara maju atau berkembang merupakan hal yang self-claim. 

Akan tetapi, Bank Dunia secara umum menentukan predikat tersebut melalui nilai Gross Domestic Product (GDP). Hingga saat ini, sebenarnya Indonesia masih berada pada middle income countries atau kelas menengah apabila mengikuti patokan nilai GDP.

"Dalam kasus Amerika, mereka menjadikan keanggotaan negara-negara G20, angka surplus, serta Generalize System of Preference (GSP) sebagai alasan. Sasaran utama AS sendiri sebenarnya adalah Tiongkok dan India. Tapi, menular hingga negara-negara lain dengan nilai surplus tinggi, termasuk Indonesia,” tutur dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dampak ke Indonesia

Hal tersebut membuat Indonesia terancam kehilangan beberapa preferensi khusus yang didapatkan negara berkembang. Posisi negara maju secara umum membawa pengaruh besar seperti mewajibkan negara untuk menerapkan subsidi maksimal 1 persen dari keseluruhan produksi. 

Sementara bunga hutang yang awalnya bisa berada pada angka 0,25 persen akan menjadi jauh lebih tinggi. Pada sisi lain yang turut terdampak adalah nilai bea impor yang akan berubah. Maka pengaruh utama yang harus diantisipasi adalah menurunnya surplus neraca perdagangan terhadap AS.

"Hal yang perlu diperhatikan pemerintah ada dua. Pertama, isu ini mungkin saja mempengaruhi perspektif negara lain dalam memandang status Indonesia. Kedua, meski menjadi salah satu tujuan ekspor utama, pemerintah hendaknya jangan terus bertumpu pada AS. Kita harus mulai mencari pasar-pasar baru sebagai tujuan ekspor,” tandasnya.

Selain Indonesia, negara-negara lain yang terkena imbas dari kebijakan AS tersebut adalah Tiongkok, Brazil, India, Albania, Argentina, Armenia, Bulgaria, Kolombia, Kosta Rika, Georgia, Hong Kong, Kazakhstan. 

Republik Kirgis, Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Romania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam. 

Sementara itu, perlu ditekankan kalau preferensi negara maju dan berkembang tersebut merupakan daftar yang AS buat sendiri untuk menentukan hubungan dagang yang dijalin dengan negara-negara lain. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.