Sukses

Hapus Stigma Corona COVID-19 dengan Pendidikan dan Pengetahuan

Stigma COVID-19 artinya perasaan takut yang lahir dari ketidakpahaman dan kurangnya interaksi yang benar dengan COVID-19.

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak terhadap sektor ekonomi dan kesehatan, tetapi juga memunculkan stigma negatif. Hal ini seiring terdengar kabar penolakan jenazah pasien COVID-19. Ada juga tenaga medis yang sebagai garda terdepan menangani COVID-19 ditolak oleh masyarakat.

Baru-baru ini salah satu penyanyi dangdut Via Vallen menceritakan mengenai kondisi sang adik yang positif COVID-19. Semula adik Via Vallen diketahui menderia pneumonia, tetap hasil rapid test menunjukkan nonreaktif. Usai jalani tes swab, adik Via Vallen terpapar COVID-19. Mengenai kondisi sang adik itu membuat salah paham warga di rumah lama Via Vallen.

Ia pun kembali mengunggah kabar mengenai kondisi sang adik. Ia menyampaikan penjelasan mengenai unggahan itu adalah kalau orang yang telah menjalani rapid test dengan hasil nonreaktif (NR) belum tentu tidak terpapar COVID-19. Via Vallen juga mengharapkan kalau keluarga dan orang-orang positif COVID-19 tidak dikucilkan.

Dosen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga, Margaretha menuturkan, stigma merupakan cara pandang negatif atas karakteristik yang dimiliki orang atau sekelompok orang. Stigma tersebut lahir dasarnya dari perasaan takut, atas sesuatu yang dianggap mengancam dan tidak dipahami.

Stigma digunakan, menurut Margaretha membedakan saya dan mereka. Ini artinya stigma menjadi cara memisahkan diri dari hal-hal yang dianggap negatif, hanya ada di luar diri atau ada pada mereka. Sedangkan orang yang melakukan stigma tidak mau berkaitan dan tidak mau memahami stigma.

"Jadi cara melawan stigma adalah memahami dan berinteraksi," ujar Margaretha saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (28/5/2020).

Lebih lanjut ia menuturkan, saat ini, stigma COVID-19 artinya perasaan takut yang lahir dari ketidakpahaman dan kurangnya interaksi yang benar dengan COVID-19 sehingga membuat orang terdampak mengalami stigma.

"Jadi menurut saya orang menggunakan stigma dan tidak mencari bantuan karena stigma (akhirnya telat sudah parah baru ke RS), ini adalah indikasi ketidakpahaman tentang apa COVID-19 sebenarnya,” ujar dia.

Oleh karena itu, menurut Margaretha untuk melawan ketakutan karena tidak tahu dengan pendidikan dan pengetahuan. Dengan begitu memunculkan solidaritas, empati dan mau membantu.

"Bukan mengucilkan orang terdampak COVID-19, tapi akan membantu sesuai prosedur,” kata dia.

Ia menuturkan, masyarakat dapat membantu orang terdampak COVID-19 sesuai prosedur kesehatan, asal paham dan tahu caranya.

"Sekali lagi social distancing tujuannya bukan untuk mengucilkan orang terdampak covid-19, tapi untuk mencegah bertambah banyak kasus sehingga RS tidak bisa lagi menampung,” kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hapus Stigma

Margaretha pun membagikan tips untuk menghapus stigma:

1.Membuat psikoedukasi tentang apa penyakit COVID-19 yang jelas, informasi akurat, dan benar serta mudah dipahami.

Hal ini mulai dari apa virusnya, cara penularan, cara identifikasi, cara diagnosanya, cara perawatan, apa hal yang mempercepat kesembuhan, apa yang menghambat kesembuhan, yang buat tambah parah, apa yang bisa dilakukan keluarga dan komunitas.

"Juga penjelasan bahwa social distancing tujuannya adalah untuk tidak memperluas penyakit dan membuat krisis di RS yang tidak punya kapasitas merawat massal, bukan untuk menjauhi orang yang mengalami COVID-19,” kata dia.

2.Penggunaan istilah yang tepat dalam konteks COVID-19. Utama sebut manusianya, bukan terfokus pada masalah.

"Sebut orang yang diduga mengalami COVID-19, orang yang mengalami COVID-19, bukan kasus diduga COVID-19, atau kasus COVID-19, ini membuat orang jadi sulit melihat manusia dibalik ketakutannya pada COVID-19. Maka manusianya hilang hanya dilihat sebagai kasus COVID-19, lebih mudah terjadi stigma buat orang yang tidak diperlakukan manusiawi,” kata dia.

3.Interaksi dengan COVID-19, bukan secara langsung tapi media bisa memediasi dengan membuat gambaran atau film tentang orang yang berjuang sembuh dari COVID-19.

"Agar interaksi dengan COVID-19 berimbang bukan hanya negatif dan kematian. Tapi juga perjuangan menuju sembuh. Bisa menggunakan orang-orang yang sudah sembuh dan berbagi cerita tentang bagaimana bisa sembuh," kata dia.

Ia menambahkan, membuat film dan documenter tentang perjuangan tim medis dalam berjuang merawan orang yang terdampak COVID-19. Bisa membuat masyarakat luas memahami (berinteraksi secara proporsional) dengan COVID-19 bukan hanya menjadi takut. “Tapi lebih mungkin mau terlibat jika paham apa sebenarnya covid-19,” kata dia.

"Koran dan media juga perlu menyebarluaskan informasi yang sudah dicek bukti ilmiahnya jangan menyebarkan rumor yang justru memperkeruh stigma. Dan jangan menghilangkan manusia dari kasus COVID-19. Gunakan istilah manusiawi,” ia menambahkan.

4.Stigma bisa juga bisa lahir dari kekebalan. Beberapa orang yang terlalu yakin dengan nilai yang dianutnya dan dia percaya sebagai yang benar, sehingga tidak mau belajar dari apa yang dihadapi saat ini, tidak mau menerima masukan.

"Untuk seseorang yang seperti ini pakai pendekatan hukum. Pelanggaran peraturan harus diberikan sanksi segera. Kalau lemah penegakan hukum, maka aturan apapun akan sia,” ujar dia.

Oleh karena itu, ia menuturkan, memberikan sanksi pada pelanggar adalah proses koreksi primer terutama buat yang melanggar. Kemudian koreksi sekunder yaitu buat yang belum melakukan kesalahan agar tidak mau melakukan hal salah.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.