Sukses

Pakar Unair Temukan Mutasi Virus Corona Baru di Surabaya

Pakar Biomolekular Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Ni Nyoman Tri Puspaningsih menuturkan, mutasi D614G dan Q677H telah terjadi di negara lain.

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Biomolekular Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Ni Nyoman Tri Puspaningsih menemukan mutasi virus corona baru di Surabaya, Jawa Timur yakni tipe Q677H. Hal itu ditemukan dari pasien di Surabaya, Jawa Timur.

"Jadi selain mutasi D614G, ada istilahnya bukan virus khas Surabaya tetapi ada strain virus yang baru ditemukannya di Surabaya. Mutasi tipe Q677H sama seperti tipe D614G yang sekarang sedang dibicarakan di berbagai negara atau secara internasional," ujar Prof Nyoman di Surabaya, Selasa, (1/9/2020), seperti dikutip dari Antara.

Mutasi virus corona tipe Q677H yang baru ditemukan di Surabaya ini, kata Prof Nyoman, ditemukan di lokasi spike yang sama dengan mutasi D614G. Mutasi D614G dan Q677H menunjukkan lokasi yang sama dari mutasinya yakni perubahan asam amino pada lokasi D614G dan Q677H.

"Ini baru pertama ditemukan di Surabaya karena data Indonesia masih sangat sedikit. Mutasi ini belum tentu di tempat lain atau di wilayah lain di Indonesia belum ditemukan. Hanya saat ini belum ditemukan karena datanya sangat terbatas," tutur dia.

Prof Nyoman mengatakan, mutasi D614G dan Q677H telah terjadi di negara lain. Dari data yang ada, mutasi Q677H telah ditemukan pada Mei di enam negara termasuk di Indonesia tepatnya di Surabaya dan saat ini telah berkembang di 24 negara.

"Ini artinya menarik, dari enam di bulan Mei kemudian sekarang berkembang menjadi 24 dan keberadaan Q677H yang kedua ini. Tempat ditemukannya di Surabaya itu adalah bersama-sama dengan D614G yang artinya di wilayah spike itu ada dua muatan yang saling berdekatan dan juga dekat dengan protein sel inang manusia. Mereka membantu memotong spike itu menjadi dua sub unit yakni S1 dan S2," katanya, menjelaskan.

Prof Nyoman mengungkapkan tim peneliti Unair telah mendeteksi pengaruh penyebarannya mutan tersebut. Saat ini tim peneliti melakukan blocking di daerah mutasi itu. Namun memang ada kendala pada bahan yang belum juga datang.

Sementara mengenai mutan yang lebih dominan antara Q677H dan D614G, pihaknya belum bisa menginformasikan karena mutan Q677H baru ditemukan. Jadi perlu diteliti lebih lanjut pola interaksi protein-protein, antara protein sel inang (purin) dengan protein virus.

Wanita yang juga Wakil Rektor I Unair trrsenut juga akan meneliti mutan Q677H apakah berpengaruh pada penyebaran virus corona baru (Sars-CoV-2) yang lebih cepat.

"Apakah mutan-mutan ini ada pengaruh terhadap peningkatan angka kematian itu belum ada bukti sampai hari ini. Publikasi internasional juga belum ada mekanisme yang menyatakan bahwa ini menyebabkan kefatalan atau lebih berbahaya atau lebih mematika. Yang jelas penyebarannya lebih cepat dengan adanya mutan ini," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Data Masih Sedikit

Prof Nyoman menuturkan,  mutan D614G mengisi 77,5 persen mutasi dari data virus yang ada di database global atau GISAID. Artinya keberadaan strain virus ini sudah ada di mana-mana

"Di GISAID sudah hampir 80 persen dari semua virus yang sudah terdata, jadi ini menunjukkan bahwa mutan ini menyebar cepat," ujar dia.

Sedangkan untuk mutan Q677H, karena baru ditemukan di Surabaya bisa jadi datanya yang belum ada.

"Hal tersebut akan dipelajari seperti membuat blok di wilayah itu. Kami juga akan mengkaji secara protein interaction dan tentu dengan pemodelan yang ada berdasarkan motif pemotongan protein purin terhadap spike untuk menjadi S1 dan S2," ujarnya.

Saat dikonfirmasi Liputan6.com, asal mutasi virus tersebut didapatkan, Prof Nyoman mengatakan, hal itu dari pasien di Surabaya. "Dari pasien Surabaya. Datanya masih dari Surabaya saja mewakili data Indonesia yaitu yang Q677H. Point mutasi ini terdapat bersama-sama dengan D614G," kata dia.

“Mengingat data dari Indonesia masih sedikit di GISAID sehingga belum bisa memberikan kesimpulan bila dibandingkan data-data dari negara lain,” ujar dia.

Ia menuturkan, sementara masih meneliti pengaruhnya terhadap interaksi protein sel inang dengan protein spike virusnya. "Jadi ini pembanding dalam desain vaksin," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.