Sukses

Penderita Gangguan Refraksi Mata di Surabaya Menurun

Upaya penanggulangan yang dilakukan Pemkot Surabaya untuk gangguan refraksi mata kali ini adalah menyasar anak-anak di usia sekolah dan lanjut usia (lansia).

Liputan6.com, Jakarta - Memperingati Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day) bertepatan pada Kamis, 15 Oktober 2020, pekan kedua pada Oktober, jumlah pasien gangguan refraksi mata di Surabaya, Jawa Timur turun signifikan dibanding 2019.

Tentunya hal itu tak lepas dari berbagai upaya Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam menanggulangi gangguan refraksi mata khususnya pada anak.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Febria Rachmanita mengungkapkan, jika pada 2019, jumlah pasien gangguan refraksi mata sebanyak 4.463 orang. Melihat angka itu, pihaknya langsung mengambil sejumlah langkah preventif untuk menekan angka penderita. Alhasil, pada 2020, jumlah penderita refraksi mata menurun.

"Jika dihitung dari awal Januari hingga Juli 2020, pasien gangguan refraksi mata yakni 2.665. Penurunannya sangat signifikan,” kata Febria di Kantornya, seperti dikutip dari laman Surabaya.go.id yang ditulis Kamis, (15/10/2020).

Feny – sapaan akrab Febria Rachmanita menjelaskan, perubahan angka yang cukup signifikan itu sebenarnya sudah dapat dilihat sejak tiga bulan pertama pada 2020. Bahkan, berkaca pada Januari 2019, jumlah pasien mencapai 496 anak.

"Sementara itu pada Januari 2020-nya pasien menurun menjadi 356 orang. Itu perbandingannya terlihat,” papar dia.

Meski demikian, keberhasilan dalam menekan angka itu tidaklah serta merta begitu saja. Sebab, ada strategi dan upaya penanggulangan yang dilakukan. Di antaranya, mengindetifikasi wilayah dan kelompok masyarakat yang berisiko mengalami gangguan refraksi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Upaya Penanggulangan Menyasar Anak Sekolah

Menurut Feny, upaya penanggulangan yang dilakukannya kali ini adalah menyasar anak-anak di usia sekolah dan lanjut usia (lansia).

"Kita menyasar ke pelajar SD- SMP. Usia rata-rata dari 7 – 15 tahun. Kemudian langkah kedua, mengembangkan surveilans deteksi dini gangguan refraksi yang dilakukan oleh kader dan rujukan ke puskesmas," tutur dia.

"Penyebaran informasi itu sangat penting. Apalagi para kader, puskesmas yang berhubungan langsung dengan masyarakat,” ia menambahkan.

Feny mengungkapkan, pihaknya juga melakukan skrining mata serta penanggulangan gangguan indera termasuk kelainan refraksi. Itu menjadi penting dilakukan agar ke depan angka kasus berkurang.

"Jadi harus terus dan selalu dalam pantauan. Kami juga menggandeng Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami). Kemudian ada RS Bakti Dharma Husada (BDH) dan RSUD dr Soewandhie," pungkasnya. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.