Sukses

RS Unair Rawat Enam Pasien COVID-19 dengan Gejala Delirium

Jubir Tim Satgas RS Unair dr Alfian Nur Rasyid menuturkan, pasien terkena delirium gejala COVID-19 biasanya karena kekurangan oksigen di otak atau hipoksia.

Liputan6.com, Surabaya - Jubir Tim Satgas RS Unair dr Alfian Nur Rasyid menyampaikan, Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) Universitas Airlangga (Unair), sedang merawat pasien COVID-19 dengan gejala delirium.

"Iya benar, ada lima sampai enam pasien COVID-19 dengan gejala delirium yang saat ini sedang dirawat di ruang ICU," tutur dia kepada Liputan6.com melalui pesan singkat, Senin (21/12/2020).

Alfian menuturkan, delirium merupakan gejala berupa gangguan mental atau fungsi otak yang ditandai gelisah dan sampai kesadaran yang menurun.

"Pasien tersebut rata-rata adalah lansia yang usianya antara 50 hingga 60 tahun," ucap Alfian.

Alfian menegaskan, pasien terkena delirium gejala COVID-19 biasanya karena kekurangan oksigen di otak atau hipoksia. Untuk mencegahnya agar tidak semakin parah, lanjutnya, harus menjalani tata laksana COVID-19 kritis atau segera ditangani.

"Bila ada pasien COVID-19 kondisi berat segera diberi oksigen, segera diberi perawatan di ICU," ujar dia.

 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hasil Tinjauan Terkait Delirium yang Disebut Sebagai Gejala COVID-19

Sebelumnya, mengutip Kanal Health Liputan6.com, pada 4 November 2011, peneliti Universitas Oberta de Catalunya (UOC) mengeluarkan hasil tinjauan tentang bagaimana Virus Corona memengaruhi sistem saraf pusat dan menyarankan bahwa jika disertai demam, delirium harus dianggap sebagai manifestasi penyakit, terutama pada orang tua.

Peneliti UOC, Javier Correa, yang melakukan penelitian ini menjelaskan bahwa delirium yang disertai demam bisa jadi merupakan gejala awal COVID-19.

Ini adalah kesimpulan utama yang diambil dari tinjauan penelitian ilmiah yang dilakukan para peneliti dari Universitas Oberta de Catalunya dan diterbitkan ke dalam Journal of Clinical Immunology and Immunotherapy.

Para peneliti menyoroti sebuah fakta bahwa bersamaan dengan hilangnya indra dari rasa dan bau, disertai juga dengan sakit kepala pada hari-hari sebelum terjadinya batuk dan kesulitan bernapas, beberapa pasien juga mengalami delirium.

Itu mengapa bila disertai dengan demam tinggi, harus dipertimbangkan sebagai penanda awal penyakit, terlebih pada orang lanjut usia (lansia).

"Delirium adalah keadaan kebingunan saat seseorang merasa tidak terhubung dengan kenyataan, seolah-olah mereka sedang bermimpi," Kata Javier dikutip dari situs resmi UOC pada Jumat, 11 Desember 2020.

"Kita perlu waspada, terutama dalam situasi epidemiologi kayak sekarang, karena seseorang yang menunjukkan tanda-tanda kebingungan mungkin merupakan indikasi infeksi Virus Corona," Javier menambahkan.

 

3 dari 3 halaman

Efek COVID-19 Terhadap Sistem Saraf Pusat Atau Otak

Javier bersama rekannya yang juga seorang peneliti dari UOC Cognitive NeuroLab, Diego Redolar Ripoll, telah meninjau badan karya ilmiah mengenai efek dari COVID-19 dalam kaitannya dengan sistem saraf pusat atau otak. 

Tinjauan tersebut menemukan bahwa meskipun hingga saat ini banyak penelitian mengenai Virus Corona yang dilakukan sejak kasus pertama Pneumonia yang dilaporkan di China pada 31 Desember 2019 berfokus pada kerusakan yang ditimbulkan di paru-paru dan organ lain, seperti ginjal juga jantung, ada indikasi yang berkembang bahwa virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 pun memengaruhi sistem saraf pusat yang menyebabkan sakit kepala hingga delirium. 

Hipotesis utama yang menjelaskan bagaimana Virus Corona baru memengaruhi otak merujuk pada tiga kemungkinan penyebab.

"Hipoksia atau defisiensi oksigen saraf, radang jaringan otak akibat badai sitokin, dan fakta bahwa virus memiliki kemampuan untuk melintasi darah. Dan, penghalang otak untuk langsung menyerang otak ," kata Javier.

Javier menekankan bahwa salah satu dari tiga faktor ini berpotensi menyebabkan delirium dan menjelaskan bahwa bukti kerusakan otak terkait hipoksia telah diamati dalam otopsi yang dilakukan pada pasien yang telah meninggal karena infeksi dan kemungkinan untuk mengisolasi Virus Corona dari jaringan otak.

Menurut para peneliti, delirium, defisit kognitif, dan anomali perilaku kemungkinan besar merupakan hasil dari peradangan sistemik organ dan keadaan hipoksia, yang juga menyebabkan jaringan saraf menjadi meradang dan menyebabkan kerusakan di area seperti hipokampus, yang terkait dengan disfungsi kognitif dan perubahan perilaku yang disebabkan oleh pasien yang mengigau.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.